Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaOpiniBagaimana Penyelesaian Calon Dirut Bank Aceh Syariah?

Bagaimana Penyelesaian Calon Dirut Bank Aceh Syariah?

“Saya tidak meminta untuk memilih salah satu dari kedua calon Dirut Bank Aceh Syariah yang telah dinyatakan lulus kelayakan oleh OJK”

Catatan: Tarmidinsyah alias Edo

Bank Aceh Syariah menjadi isu menarik dalam politik pembangunan rakyat Aceh akhir-akhir ini, menyusul permasalahan rekrutmen calon direkturnya. Sebagai pembuat petisi awal mempersoalkan rekrutmen calon Dirut Bank Aceh tersebut, saya bersyukur karena sudah banyak pejabat dari kalangan wakil rakyat yang berbicara membela masyarakat Aceh.

Pada awalnya saya hanya melakukan gerakan moral untuk membangun perhatian para wakil rakyat dan tokoh-tokoh politik Aceh. Namun ternyata hal ini tidak cukup untuk menyampaikan kepada para wakil rakyat bahwa mempertahankan Bank Aceh dalam kepemimpinan orang Aceh sendiri sangat penting untuk menjaga kredibilitas masyarakat Aceh itu sendiri dalam dunia perbankan.

Kemudian saya terpaksa melakukan langkah-langkah politik yang normatif untuk menyuarakan isu tersebut. Tetapi tidak sedikit juga orang yang menganggap apa yang saya persoalkan adalah sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat Aceh. Bahkan bukan tidak ada yang menganggap saya sebagai pelaku politik yang ekstrem dengan pemerintah.

Saya memantau apa yang terjadi dalam perpolitikan khususnya dalam sikap wakil rakyat di Indonesia terutama sikap mereka di parlemen DPR RI dan DPD RI, yang miskin dengan kreativitas sikap dan fungsinya sebagai wakil rakyat.

Padahal pemerintah pusat dalam kepemimpinan Presiden Jokowi masih memberi ruang untuk negosiasi politik jika mereka memahami substansi dan permasalahan yang timbul dan menciderai demokrasi serta aspirasi rakyat Indonesia.

Karena fenomena politik yang sangat lemah dalam pembelaan rakyat oleh wakil rakyat, maka saya merasa terpanggil untuk menyuarakan pembelaan masyarakat meski tanpa jabatan dan tanpa partai politik. Apalagi saya bukan sebagai anggota parlemen yang punya corong untuk bicara sebagaimana seorang senator (DPD RI) dan seorang anggota DPR RI.

Saya merasa yakin dengan persoalan yang saya angkat menjadi masalah rakyat Aceh secara keseluruhan karena memang begitulah idealnya ketika kita kaji suatu persoalan yang bisa membawa dampak besar bagi kredibilitas masyarakat suatu daerah.

Jika kita bisa mengangkat dengan bijak, apakah pemerintah pusat membabi buta memaksakannya? Saya paham tentang prasyarat pembuatan kebijakan publik yang membutuhkan keseimbangan aspirasi rakyat, tidak semena-mena pemerintah pusat mengeksekusinya, kecuali mereka menemukan kelemahan dalam permasalahan daerah yang butuh penanganan dari atas.

Lalu saya berpikir bahwa selama ini yang lemah itu adalah wakil rakyat (DPR) dan wakil daerah (DPD) sehingga pemerintah pusat dominan dalam membuat keputusan publik di negara ini. Nah, jika argumen politik dapat diterima akal sehat, dan keputusan itu merugikan masyarakat, apakah ini akan dipaksakan oleh Pj. Gubernur Aceh yang mewakili pemerintah pusat atas kebijakan tersebut?

Jawabannya jika dipaksakan maka hanya ada satu cara menyampaikan pendapat rakyat, yaitu demo besar dan perang. Tetapi ini hanya berlaku dalam kepemimpinan orang zalim, atau pemimpin zalim.

Nah, ini kan sudah terlanjur berjalan kebijakannya, apakah bisa dianulir? Saya menilai orang politik di Aceh salah menebak pemilihan kebijakan yang baik bagi masyarakat Aceh. Saya tidak meminta untuk memilih salah satu dari kedua calon Dirut Bank Aceh Syariah yang telah dinyatakan lulus kelayakan oleh OJK. Saya juga masih heran memandang peran OJK yang dianggap vital dalam urusan penentuan calon dirut di perseroan terbatas (PT) daerah tersebut. Inilah sebenarnya yang membuat penilaian terhadap pemerintah pusat mengada-ada terhadap alat politik untuk mengambil alih perusahaan daerah.

Lalu bagaimana pilihan kebijakan publik yang benar terhadap permasalahan Bank Aceh Syariah dimaksud?

Jawabannya adalah, Pertama, membuat kebijakan permerintah yang baru dengan membuka rekrutmen calon Dirut Bank Aceh secara terbuka dan seluas-luasnya bagi masyarakat Aceh. Apalagi kita ketahui banyak orang Aceh yang menjadi bankir pada banyak bank di Indonesia yang siap bekerja untuk ekonomi rakyat Aceh.

Kedua, membubarkan atau membatalkan dua orang calon Dirut Bank Aceh yang telah dianggap sah sebagai calon, yaitu Nana Suhendana yang dari luar Aceh dan Muhammad Syah, merupakan putra Aceh yang dalam skenario konsep suksesi tersebut Bank Aceh Syariah ini tidak berbeda dengan pendamping atau tokoh “intat linto”. Tentu saja dia memiliki kelemahan dan bahkan tidak lebih dari para calon dirut yang digagalkan pada tahapan rekrut pertama, lalu kenapa dia lulus?

Menurut saya tidak perlu cerdas untuk memahami skenario pemilihan calon Dirut Bank Aceh tersebut yang berakhir dengan polemik sosial di Aceh.

Pertanyaannya, apakah Pj. Gubernur Aceh punya political will yang baik terhadap pembangunan rakyat Aceh atau sengaja ingin melemahkan rakyat Aceh dan menggunakan kekuasaan pemerintah pusat? Hal ini akan mempengaruhi baik dan buruk marwah Presiden RI, bagaimana mereka menangani daerah yang mereka wajib menyebutnya sebagai daerah khusus.

Tapi kalau Pj. Gubernur memilih orang Aceh yang sudah disiapkan untuk calon pecundang bagaimana?

Jawabannya adalah Pj. Gubernur Aceh telah berhasil melakukan pelemahan terhadap harga diri rakyat Aceh dan juga telah memilih kebijakan keliru yang mendegradasi masyarakat Aceh dalam hak otonominya sebagai warga negara Republik Indonesia. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER