“Di masa pandemi saja IKM di Aceh tetap aktif, walaupun kondisinya menurun, artinya semakin baik kondisi saat ini tentu mereka akan lebih giat mengembangkan industrinya”
— Kadisperindag Aceh, Mohd Tanwier —
Produk kerajinan yang terbuat dari tanah liat itu kian langka ditemukan. Padahal keberadaannya telah lama bertengger di rumah-rumah dan menjadi pelengkap peralatan dapur bagi kaum ibu rumah tangga.
Di Aceh, pada tahun 80-an, IKM gerabah ini masih mudah ditemukan, khususnya di Desa Ateuk Jawo, Banda Aceh. Namun seiring berkembangnya waktu kerajinan inipun mulai tergerus zaman.
Di Banda Aceh, daerah yang masih dikenal dengan produk gerabahnya adalah di Ateuk Jawo. Pembuatannya tidak jauh dari jalan besar, masuk Desa Ateuk Jawo, di halaman rumah Nomor 165.Â
Di depan rumah langsung terlihat penjemuran gerabah setengah jadi hingga yang telah matang. Salah satu perajin gerabah yang masih aktif adalah Hasnidar. Saat Waspadaaceh.com mengunjungi IKM pembuatan gerabah ini, Senin (13/6/2022), Hasnidar terlihat sedang sibuk membuat kuali yang sering disebut dengan beulangong tanoh.
Sambil membentuk gerabah, Hasnidar menjelaskan proses pembuatan gerabah mulai pemilihan tanah, mengumpulkan tanah sampai proses pembakaran.
“Dimulai dari mengumpulkan tanah liat khusus yang diambil dari sawah, kemudian mencampurnya dengan pasir. Tanah ini kemudian diuleni dengan kaki secara manual hingga membentuk adonan yang padat namun tetap lunak untuk dibentuk,” sebutnya.
Dia menambahkan, selanjutnya masuk dalam proses membuat gerabah. Hasnidar tanpak cekatan meletakkan bahan di atas pencetak yang di bawahnya terdapat pemutar untuk memudahkan proses pembuatan.
Tidak memerlukan waktu lama, Hasnidar sudah siap mencetak gerabah dengan ukuran sedang tanpa menggunakan peralatan modern. Hasnidar mengakui jika bahan baku sudah tersedia, dia mampu membuat gerabah ukuran sedang sebanyak 50 buah perharinya.
Hasnidar memaparkan, ada empat bentuk yang dibuat, pertama disebut sikay (ukuran satu muk), sijupak (ukuran tiga mok), tiga kay (ukuran satu bambu) dan enam kay (takaran dua bambu). Tak hanya beulangong tanoh, Hasnidar juga membuat cobek ukuran kecil serta ukuran sedang.
“Harga beragam, mulai 15 – 70 ribu rupiah. Kalau komplet dengan tutup ditambah 10-15 ribu. Sedangkan cobek kita kasih harga 6-15 ribu,” paparnya.
Hasnidar menjelaskan, setelah pembuatan selesai, penjemuran harus dilakukan selama seminggu sekaligus dianginkan hingga gerabah benar-benar kering dan siap dibakar.
Gerabah-gerabah yang sudah jadi, siap dijemput oleh mugee (tengkulak).
Hasnidar mengakui sejak dia kecil sudah bisa membuat gerabah. Awalnya Hasnidar berguru kepada neneknya. Dari empat orang bersaudara hanya dia yang bisa dan mau meneruskan usaha turun temurun ini.
“Usaha gerabah ini sudah dari zaman dulu, sebelum saya lahir usaha ini sudah dikembangkan oleh nenek saya sampai sekarang. Di Ateuk Jawo sendiri dulu banyak yang buat gerabah, namun sekarang sudah jarang yang buat,” tuturnya.
Kekurangan Bahan Baku
Hasnidar menjelaskan, sejak perajin gerabah mulai langka, banyak masyarakat Aceh maupun dari luar Aceh memesan kepadanya. Walaupun sehari mampu dia cetak puluhan gerabah namun dia mengakui tidak bisa memenuhi semua permintaan pelanggan.
“Karena kekurangan bahan baku. Sawah sebagai sumber tanah liat sekarang sudah dijadikan permukiman warga, jadi ini menjadi kendala,” sebutnya.
Tidak hanya kekurangan bahan baku, dia juga mengakui sulit merekrut pekerja yang ahli membuat gerabah. Kendala lain yang dihadapi tempat proses pembakaran gerabah yang mulai sempit.
“Di pekarangan rumah ni sudah sempit, takut terbakar rumah orang. Karena saat pembakaran gerabah harus menggunakan api sedang hingga besar,” ucap Hasnidar sambil menunjukan tempat pembakaran gerabah.
Belum Ada Media Promosi
Hasnidar menuturkan, usahanya yang telah berdiri sejak nenek moyang dahulu penjualannya hanya melalui mugee atau hanya menjual langsung di tempat pembuatan gerabah.
Sampai saat ini, dia mengakui belum ada media promosi penjualan gerabahnya baik melalui kerjasama dengan dinas-dinas maupun promosi melalui media sosial.
“Selama ini banyak siswa dari berbagai sekolah yang datang dibawa gurunya untuk sekedar mendapatkan pengetahuan cara membuat gerabah,” tuturnya.
Disperindag Aceh Sokong Perkembangan IKM
Pemerintah Aceh melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh berkonsentrasi mengembangkan Industri Kecil Menengah (IKM) di Aceh. Tercatat IKM di Aceh, terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu.
“Pelaku IKM di Aceh otomatis semakin berkembang dari sebelumnya. Di masa pandemi saja IKM di Aceh tetap aktif, walaupun kondisinya menurun, artinya semakin baik kondisi saat ini tentu mereka akan lebih giat mengembangkan industrinya,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadis Perindag) Aceh, Mohd Tanwier, kepada Waspadaaceh.com, Rabu (8/6/2022).
Perkembangan IKM yang begitu pesat, ucap Tanwier, tentu tidak terlepas dari campur tangan pemerintah yang gencar melakukan pembinaan maupun pelatihan kepada pelaku IKM.
Beberapa hari lalu juga, kata Tanwier, Pemerintah Aceh memberikan bantuan kepada pengrajin di 23 kabupaten/kota se-Aceh di bawah binaan Dekranasda Aceh.
“Kemarin kita baru saja melakukan Rakerda di seluruh Aceh yang berpusat di Takengon, Aceh Tengah, dimulai tanggal 3-5 Juni 2022 disertai dengan pameran hasil produk lokal. Pada kesempatan itu, Pemerintah Aceh memberikan bantuan kepada IKM diserahkan langsung Gubernur Aceh,” tutupnya. (Adv)