“Bila ingin mengajar, harus melalui jalan darat tak beraspal melewati pegunungan sepanjang pesisir barat Aceh selama 3 jam, baru tiba di sekolah”
— Guru SMA Modal Bangsa, Raisul Akbar —
Pahlawan tanpa tanda jasa, begitu orang menyebutnya untuk guru. Berbicara tentang guru memang tiada habisnya. Mereka selalu berjuang demi masa depan generasi penerus bangsa, bahkan hingga ke daerah terpencil.
Terkait dengan Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November 2021, Waspadaaceh.com, menurunkan beberapa laporan terkait dengan perjuangan para guru. Salah satu kisahnya adalah tentang lika-liku seorang guru di Aceh yang berasal dari Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.
Menjadi guru bagi Raisul bukan hanya soal pekerjaan, tetapi panggilan hati. Dia memilih profesi itu untuk mengabdi, dan dia siap meski ditempatkan di pulau terdalam dan terluar sekalipun.
Raisul menyelesaikan pendidikan S1 Program Studi Pendidikan Jasmani Sekolah, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan (Unimed), lulus tahun 2005. Dia kemudian menyelesaikan pendidikan S2 Program Studi Administrasi Pendidikan Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, lulus tahun 2010.
Kepada Waspadaaceh.com, Raisul yang lahir di Pangkalan Susu pada 20 September 1980, menceritakan pengalaman dan pengabdiannya menjadi guru selama 14 tahun 4 bulan di Provinsi Aceh.
Awal pengangkatan Raisul menjadi PNS tahun 2006 di Kabupaten Aceh Besar, sebagai guru mata pelajaran PJOK (Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan). Pada saat itu jenjang pendidikan menengah masih dikelola oleh Dinas Pendidikan Kabupaten.
Pertama kali dia ditempatkan sebagai guru PNS di SMA Negeri 1 Lhoong, di Kabupaten Aceh Besar. Sekolah ini letaknya berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Jaya atau berjarak sekitar 57 Km dari pusat kota Banda Aceh.
Perjalanan darat tak beraspal harus dia tempuh hampir setiap hari. Raisul melakukan perjalanan hampir 3 jam melewati pegunungan di sepanjang pesisir pantai samudera Hindia. Dia bersusah payah untuk bisa mencapai ke sekolah tempat dia mengajar.
Kondisi Aceh setelah dilanda konflik berkepanjangan dan bencana gempat/tsunami, kata Raisul, sangat memprihatinkan. Ketika itu infrastruktur pendidikan dan sarana umum lainnya rusak berat dan belum diperbaiki secara layak. Kondisi masyarakat yang masih trauma dengan konflik juga membuat orang pendatang, seperti dirinya, tidak mudah diterima oleh masyarakat.
Namun Raisul tak patah semangat. Berkat doa dan dukungan keluarganya, dia pun merasa tetap kuat dan ikhlas menjalankan tugas pengabdiannya sebagai guru. Apalagi dia memang mencintai profesinya sebagai seorang pendidik.
Walau terkadang harus putus komunikasi karena tak ada listrik sehingga tidak bisa mengisi daya, atau karena signal telepon sangat terbatas, namun bagi Raisul itu semua bukan menjadi pengalang baginya untuk tetap mengajar. Ketika itu memang masih banyak wilayah di daeah itu yang belum memiliki akses telepon selular.
Selama tujuh tahun dia tetap semangat bertugas di SMA Negeri 1 Lhoong. Dia sudah begitu akrab dengan sesama guru, para siswanya dan bahkan orang tua siswa. Hingga akhirnya pada tahun 2013, Raisul mendapat tugas di tempat baru. Dia dimutasi ke SMA Negeri 2 Pulo Aceh.
Menjadi Guru di Pulo Aceh
Baginya, sebagai seorang guru siap ditugaskan di mana saja. Saat itu, sekolah tempat tugasnya yang baru, belum lama mendapatkan surat keputusan sebagai sekolah negeri.
Pulo Aceh sendiri merupakan pulau terluar yang berlokasi di ujung paling barat Pulau Sumatera yang dikelilingi oleh laut Samudera Hindia. Letaknya berkisar kurang lebih 40 Km dari kota Banda Aceh.
Moda transportasi laut menjadi pilihan satu-satunya. Sejak 2013 itu, Raisul bahkan harus menumpang perahu kayu nelayan sebagai alat transportasi ke Pulo Aceh. Begitu juga sebaliknya dari Pulo Aceh menuju pulang ke Banda Aceh. Setiap kali perjalanan, dia harus mengeluarkan biaya atau ongkos Rp25.000 untuk sekali jalan.
Menurut Raisul, perahu nelayan ini sebenarnya diperuntukan mengangkut bahan kebutuhan masyarakat, bukan untuk transportasi penumpang. Karena ketika itu tidak ada pilihan lain, masyarakat termasuk dia, tetap memanfaatkan perahu nelayan. Meski dari sisi keamanan penumpang, apa lagi keadaan cuaca yang selalu berubah-ubah, perahu nelayan itu tidak layak untuk penumpang.
Selama lebih kurang tujuh tahun, Raisul menjalankan tugas pengabdiannya sebagai guru di SMA Negeri 2 Pulo Aceh. Meski menyita waktu perjalanan, ditambah dengan tingkat kesulitan yang besar untuk mencapai sekolah, namun Raisul tetap disiplin menjalankan tugas pengabdiannya.
Kemudian hingga pada tahun 2020, Raisul kembali dimutasi ke SMA Modal Bangsa Aceh, Aceh Besar, sampai dengan saat ini.
Dia meyakini, pemutasianya ke SMA Modal Bangsa tidak terlepas dari beberapa prestasi yang pernah diraihnya selama mengabdikan diri di sekolah-sekolah terluar di Aceh.
Kegigihan Berbuah Penghargaan
Raisul menerima Anugerah Tanda Kehormatan Satyalancana Pendidikan Kategori Berdedikasi, dari Presiden Republik Indonesia Tahun 2019. Raisul juga Juara I Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Pemenang Guru Berdedikasi Tingkat Nasional Tahun 2018.
Kemudian Juara I Guru SMA dan SMK Berdedikasi Tingkat Provinsi Aceh Tahun 2018. Masih di tahun 2018, Juara I Guru SMA dan SMK Berdedikasi Tingkat Kabupaten Aceh Besar.
Juara II Pemilihan Guru Berprestasi Jenjang SMA Kabupaten Aceh Besar Tahun 2021 serta Instruktur Kabupaten/Kota Kurikulum 2013 Jenjang Sekolah Menengah Atas Provinsi Aceh Tahun 2016.
Raisul Akbar juga dipercayakan sebagai juri Guru SMA dan SMK Berdedikasi Tingkat Provinsi Aceh tahun 2019 serta mengisi beberapa acara webinar Dinas Pendidikan Aceh dan MGMP Aceh Besar sebagai narasumber.
Beberapa pengalam dan prestasi yang dia ceritakan bukan untuk menyombongkan diri, namun untuk memotivasi guru lainya. Dia ingin para guru tetap menjalankan tugas pengabdiannya walau dimutasi ke tempat yang jauh, karena semua itu ada hikmahnya. Selain itu pemerintah juga akan tetap memberi perhatian kepada para guru di mana pun bertugas.
Meski di tengah Pandemi COVID-19, Raisul tetap memotivasi guru-guru lainya. Dia berharap agar seluruh insan pendidikan, menjadikan situasi pandemi ini sebagai laboratorium bersama untuk menempa mental pantang menyerah dan mengembangkan budaya inovasi.
Sebab, kata dia, meski selama ini pelaksanaan pembelajaran banyak dilakukan secara online, namun fungsi dari guru tidak dapat digantikan oleh teknologi secanggih apapun. Menurut Raisul, mutu pendidikan masih bisa ditingkatkan dengan melibatkan semua stakeholder.
“Semakin banyak yang mendukung, malah pendidikan akan semakin baik,” ujar Raisul. Raisul membuktikan, kerja sama yang dia terapkan semakin lama menjadi virus positif.
Walaupun pandemi membuat pembelajaran kurang efektif, misalnya faktor emosional antara guru dan siswa menjadi berkurang, karena pembelajaran daring, begitu pun peranan guru tak boleh diabaikan. Guru harus pula memiliki kreativitas dan inovasi dalam mendidik para siswa.
“Secara khusus, guru harus menyederhanakan beberapa kompetensi tersebut menjadi lebih detail, sehingga kendala dari dalam sudah mampu diatasi, tinggal berupaya menghadapi masalah dari luar dirinya. Misalnya, siswa tidak memiliki handphone, tidak memiliki paket data dan sebagainya,” tutur Raisul.
Selama 14 tahun menjadi guru, Raisul memulai pembelajaran dengan mengutamakan minat, bakat dalam berkreasi dan berkarya. Trik yang dia terapkanpun tidak berfokus kepada keseriusan, namun belajar sambil bermain sehingga pembelajaran terasa menyenangkan.
Di samping itu, Raisul memberikan dukungan dan apresiasi sepenuhnya kepada pesera didik, agar terdapat pemerataan pendidikan.
Raisul yang juga lama mengabdi pada sekolah tertinggal di Aceh, mengharapkan agar pemerintah terkait memberikan perhatian khusus terhadap daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Juga perlu dilakukan agar mendapatkan fasilitas pembangunan termasuk di bidang pendidikan.
Di samping itu, dia juga sangat berharap merealisasikan penggunaan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) untuk mempercepat akses pelayanan pendidikan di wilayah-wilayah pinggiran. Begitu lah pesan Raisul Akbar, guru inspiratif, yang sudah malang melintang mengajar di daerah pelosok Aceh. (Adv)