Minggu, Desember 22, 2024
spot_img
BerandaTerjemahan Nyeleneh ‘Aceh’ di Google, Bagaimana Menyikapinya?

Terjemahan Nyeleneh ‘Aceh’ di Google, Bagaimana Menyikapinya?

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Haekal Afifa, warga Aceh melayangkan protes ke Google. Itu dia lakukan sebagai buntut dari beragam terjemahan negatif dari kata ‘Aceh’ yang ditelusurinya di peramban tersebut.

Surat terbuka yang dia tujukan kepada Managing Director Google Indonesia di Jakarta itu berisi keberatan dan protes, khususnya pada layanan Google terjemahan (Google Translate).

“Saya melihat, pada laman https://translate.google.com, opsi terjemahan dari bahasa Jawa (Javanese) dan bahasa Melayu ke bahasa Indonesia, ada belasan frasa yang mendiskreditkan Aceh,” tulisnya dalam surat tersebut.

Dia menjelaskan, beberapa di antaranya seperti, frasa (1) ‘anak aceh’, (2) ‘pria aceh’, (3) ‘wanita aceh’, (4) ‘gadis aceh’, (5) ‘bocah aceh’, (6) ‘ibu aceh’, (7) ‘ayah aceh’, (8) ‘saya aceh’, (9) ‘keluarga aceh’, (10) ‘baju aceh’, (11) ‘suku aceh, (12) ‘orang aceh’, (13) ‘dunia aceh’, (14) ‘tokoh aceh’, (15) ‘bahasa aceh’, (16) ‘kakak aceh’, dan (17) ‘anak melayu’.

Seluruh frasa tadi setelah diterjemahkan ke dalam terjemahan bahasa Indonesia menjadi: (1) ‘bajingan’, (2) ‘dasar brengsek’, (3) ‘seorang wanita yang kasar’, (4) ‘dasar brengsek’, (5) ‘kamu bajingan’, (6) ‘Ibu brengsek’, (7) ‘Ayah brengsek’, (8) ‘Saya brengsek’, (9) ‘keluarga fanatik’, (10) ‘kaus kaki’, (11) ‘suku yang sakit’, (12) ‘bajingan’, (13) ‘dunia berantakan’, (14) ‘sosok yang kasar’, (15) ‘bahasa menghujat’, (16) ‘Anda brengsek’, (17) ‘bajingan’.

“Bahkan, jika frasa ‘anak aceh’ dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu diterjemahkan ke bahasa Inggris maka tertulis dalam terjemahannya sebagai ‘son of a bitch’,” ujarnya.

Haekal menduga ada unsur kesengajaan pada frasa yang ditampilkan oleh produk layanan Google terjemahan, khususnya opsi dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu ke bahasa Indonesia itu.

“Terlihat seperti ada unsur kesengajaan dan bukan bagian dari terjemahan, tapi lebih kepada mendeskripsikan dan mendiskreditkan saya atau orang Aceh secara umumnya,” ucapnya.

Lantas, sebagai bangsa Aceh, akunya, Haekal merasa terjemahan itu menghina kehormatannya. Dia bahkan mengecam hasil penelusuran tersebut sebagai bentuk diskriminasi dan perlakuan rasis.

Bahkan, lanjut dia, tindakan tersebut mengindikasikan bahwa produk layanan Google terjemahan tidak memiliki sistem verifikasi yang baik dan rasa sensitifitas terhadap keberagaman budaya, bahasa, suku, adat serta peradaban masyarakat di Indonesia.

“Ini berpotensi konflik horizontal dan memecahkan persatuan bangsa Indonesia.”

“Karena dalam bahasa, budaya dan nilai hidup kami tidak pernah terdapat arti dari frasa seperti yang diterjemahkan oleh layanan perusahaan Anda (Google),” tegas Haekal dalam suratnya itu.

Dia juga menambahkan, terjemahan itu telah melanggar aturan internasional, yakni Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial atau ICERD (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) yang sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB Nomor 2106 (XX) pada 21 Desember 1965.

Konvensi itu sendiri telah diratifikasi oleh Republik Indonesia pada 25 Juni 1999 ke dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Haekal meminta pihak perusahaan Google LLC atau pihak Google Indonesia untuk menghapus frasa-frasa tersebut di atas pada produk layanan Google terjemahan (Google Translate), khususnya terjemahan dari bahasa Jawa dan Melayu ke Bahasa Indonesia dan Inggris yang mengandung diskriminatif rasial, sesegera mungkin.

“Saya yakin, sebagai sebuah perusahaan multinasional yang menawarkan produk dan layanan yang mendunia, para pekerja Anda tentunya paham dengan aturan dan regulasi di atas. Karena sampai kapan pun dan di manapun praktek rasial harus segera dihentikan. Perusahaan Anda memiliki peran besar untuk mulai menghentikannya dari sekarang,” imbuhnya.

Terakhir, dia berharap Google lebih bijak dalam verifikasi dan validasi terjemahan bahasa. Termasuk juga menindak tegas dan tidak memberi ruang kepada orang-orang atau Komunitas Google Terjemahan yang berpotensi diskriminasi rasial.

“Sehingga kesalahan seperti ini tidak terulang kembali kepada kami dan etnis atau bangsa-bangsa yang lain di Indonesia, khususnya dan di belahan dunia manapun yang menikmati layanan perusahaan Anda pada umumnya,” tandas Haekal.

Selain melayangkan ke Google, surat terbuka itu juga ditembuskan ke CEO Google LLC, International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional), Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Komnas HAM RI. Dalam suratnya Haekal juga melampirkan screenshot video sebagai bukti aksesnya, pada tanggal 14 Oktober 2019 Pukul 02.42 WIB dini hari.

Namun, belakangan, Rabu siang (16/10/2019) beberapa waktu usai Haekal melayangkan suratnya, frasa-frasa tadi tidak lagi berubah saat diterjemahkan di Google Translete. Arti-arti negatif sebelumnya kini tak lagi muncul.

Memahami Cara Kerja Machine Learning

Pemberitaan soal protes Haekal Afifa segera menjadi perbincangan hangat warganet di Aceh. Sebagian besar di antaranya bahkan mendengungkan ‘diskriminasi rasial’ hingga tudingan negatif lainnya.

Sebelum percakapan di media sosial bakal melebar ke persoalan rasisme, pemerhati IT di Aceh, M Iqbal mengatakan, alangkah lebih baik menelusuri cara kerja Machine Learning (dari aplikasi Google. Ini untuk memastikan, sejauh mana tudingan ‘konspirasi’ dan diskriminasi terkait hasil penelusuran terjemahan yang berkaitan dengan ‘Aceh’ di peramban tersebut, tepat adanya.

“Google translate menggunakan namanya AI (kecerdasan buatan) dan ia menerjemahkan setiap perintah sesuai dengan dokumennya. Penerjemah itu bernama machine learning (turunan dari AI), dia akan belajar dari semakin banyak dokumen yang tersimpan di dalam filenya,” ujar Iqbal.

Makin sedikit jumlah perbendaharaan, lanjut dia, sistem machine learning (ML) tersebut akan kebingungan mencari arti yang cocok. Dia akan mencari kata paling dekat dengan kalimat tersebut.

“Jangan heran ada banyak bahasa, khususnya bahasa kelas dua di google (contohnya bahasa daerah diartikan tak sesuai),” kata dia.

Maka, menurut Iqbal, cara agar tidak lagi ada terjemahan negatif terkait frasa ‘Aceh’, adalah dengan memperbanyak penerjemah profesional yang terlibat di sistem itu.

“Mereka yang paham bahasa daerah kemudian menambah perbendaharaan dalam ML. Sehingga tak ada lagi salah terjemahan,” kata dia.

“Jadi anggap saja google translate itu anak kecil yang baru mengenal perbendaharaan kata. Dia kesulitan mengenal kalimat slang sebuah bahasa,” pungkas Iqbal. (Fuadi)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER