Minggu, Desember 22, 2024
spot_img
BerandaAcehBelajar Kasus Papua, Akademisi Aceh Tekankan Pentingnya Pembangunan Berkeadilan

Belajar Kasus Papua, Akademisi Aceh Tekankan Pentingnya Pembangunan Berkeadilan

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Untuk memperkuat nasionalisme, dibutuhkan rekonsiliasi nasional dan pembangunan berkeadilan, untuk meredam gejolak yang timbul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian disampaikan Sulaiman Badai, mantan Ketua DPP Korp Alumni UIN Ar-Raniry (DPP Koniry) dalam diksusi membahas “Rekonsiliasi Nasional dan Pembangunan Berkeadilan,” yang digelar Himpunan Mahasiswa Prodi Sejarah Kebudayaan Islam, di Banda Aceh, Kamis (19/9/2019).

“Gejolak yang terjadi di berbagai daerah sejak Indonesia merdeka adalah cobaan dan ujian terhadap nasionalisme masyarakat Indonesia. Sampai saat ini bangsa Indonesia berhasil melewati periode tersebut secara dinamis,” ujarnya.

Berkaca dari kasus diskriminasi terhadap Papua baru-baru ini, Sulaiman mengajak masyarakat untuk tidak memperuncing perbedaan antar sesama anak bangsa. Menurutnya, pola pikir saling membeda-bedakan itulah yang memunculkan sikap rasisme dan perlakuan diskriminatif terhadap Papua.

Karena itu, Sulaiman Badai menyampaikan pentingnya rekonsiliasi nasional dan optimalisasi pembangunan. Dengan pembangunan yang merata, masyarakat akan merasakan kehadiran negara.

Dia mengaku prihatin dengan lemahnya serapan Anggaran Belanja Daerah, terutama pada program-program yang memberi dampak kepada masyarakat, baik fisik maupun non fisik.

“Maka, pengelolaan anggaran negara dan daerah harus berdampak terhadap masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Tanpa itu, nasionalisme sulit kita capai,” harapnya.

Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala yang juga mantan Wakil Bupati Aceh Selatan, Daska Aziz, dalam kesempatan itu menyampaikan hal serupa. Pembangunan yang berkeadilan adalah solusi pemersatu Indonesia.

Dia menjelaskan, dalam membangun setiap daerah, perlu beberapa poin penting. Pertama, konsep pembangunan yang terarah. Kedua, pembangunan yang berkeadilan. Ketiga, pembangunan dalam bentuk kesejahteraan masyarakat.

“Dengan ketiga hal tersebut, nantinya setiap warga negara akan terdorong menjadi pribadi yang patriotik, sehingga akan mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia,” ujar Daska.

Dia juga menyarankan kepada masyarakat pemuda dan mahasiswa di Papua untuk ikut mengawal pembangunan di wilayah mereka. Selanjutnya, kepada generasi intelektual Papua perlu terus belajar hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

“Tempuh pendidikan dari S1 sampai S3 di berbagai tempat, baik di dalam maupun luar negeri. Setelah selesai studi, langsung pulang ke tempat asal untuk mengambil peran dalam pembangunan Papua yang berkeadilan. Di samping itu, kepada elemen sipil masyarakat papua untuk menjalin komunikasi dan konsolidasi dengan masyarakat di luar Papua,” pungkasnya.

Senentara itu Ketua HIMAPA (Himpunan Mahasiswa Papua-Aceh), Ade Yuspani, dalam kesempatannya menyampaikan persoalan yang terjadi di Papua. Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unsyiah ini mengatakan, masyarakat Papua sebenarnya tidak ingin berpisah dari NKRI.

“Namun diskriminasi dan ketidakadilan terhadap rakyat Papua, menyebabkan munculnya dinamika panas antar daerah dan Pemerintah Pusat,” ungkap Ade.

Dia menambahkan, seandainya saja, Pemerintah Pusat berlaku adil terhadap rakyat Papua dalam berbagai hal, baik pembangunan fisik maupun pembangunan SDM, maka rakyat Papua tidak pernah meminta referendum untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Apalagi, menurutnya, dana otonomi yang diberikan oleh pemerintah selama ini tidak semuanya dinikmati oleh masyarakat Papua.

“Bahkan banyak sekali posisi strategis di Papua diisi orang-orang di luar Papua,” tandasnya. (Fuadi)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER