Banda Aceh (Waspada Aceh) – Sebanyak tujuh Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Aceh dipulangkan dari Malaysia pada Kamis (6/11/2025).
Mereka tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Aceh Besar, setelah difasilitasi oleh Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Aceh bekerja sama dengan KBRI Kuala Lumpur.
Ketua Tim Pemulangan BP3MI Aceh, Rusmadi, mengatakan proses pemulangan berawal dari laporan KBRI Kuala Lumpur.
Setelah menerima berkas, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Kepala BP3MI Aceh, Siti Rolija, untuk memastikan seluruh PMI bisa kembali ke daerah asal masing-masing dengan aman.
“Sebagian dari mereka ditahan selama tujuh bulan hingga satu tahun karena tidak memiliki dokumen lengkap, seperti izin kerja dan izin tinggal. Kami terus mengimbau agar calon pekerja berangkat melalui jalur resmi agar tidak terjerat masalah hukum di luar negeri,” kata Rusmadi saat ditemui di Bandara, Kamis (6/11/2025).
Salah satu pekerja yang dipulangkan, Abu Bakar bin M. Yusuf (61), warga Aceh Timur, sudah bekerja di Malaysia sejak 2006. Ia dikenal sebagai pemilik usaha pangkas rambut kecil di kawasan tempat tinggalnya.
“Tahun 2017 saya buka usaha sendiri. Alhamdulillah jalan, malah sempat menampung beberapa pekerja dari Aceh juga,” ujar Abu Bakar.
Namun, usahanya terhenti saat aparat imigrasi Malaysia menggelar razia pada malam Idul Adha, Kamis (5/6/2025) sekitar pukul 02.00 waktu setempat.
“Saya lagi mau tutup toko, tiba-tiba polisi datang dan bawa kami ke kantor. Katanya karena tidak ada permit,” tuturnya.
Sementara itu, Al Viana (30), PMI asal Lhokseumawe, mengaku awalnya berangkat ke Malaysia hanya untuk berlibur. Namun karena sulitnya mencari pekerjaan di kampung, ia akhirnya bekerja di sebuah restoran.
“Awalnya cuma jalan-jalan. Tapi karena di kampung susah cari kerja, saya bantu di restoran. Lama-lama jadi kerja tetap,” kata ibu satu anak itu.
Setelah bercerai dari suaminya, Al Viana menjadi tulang punggung keluarga. Anak semata wayangnya yang berusia delapan tahun kini diasuh oleh neneknya di Lhokseumawe.
“Dengan kerja di Malaysia, saya bisa kirim uang untuk anak. Tapi waktu ditangkap, saya cuma bisa pasrah,” katanya lirih.
Ratusan PMI Sudah Dipulangkan
Data BP3MI Aceh mencatat, sepanjang tahun 2025 lembaga tersebut telah memfasilitasi 484 PMI yang dipulangkan dari Malaysia.
Perwakilan KBRI Kuala Lumpur, Maulida, menyebut sebagian besar pekerja yang dideportasi ditangkap karena overstay dan tidak memiliki izin kerja.
“Banyak yang awalnya datang hanya dengan visa kunjungan, tapi kemudian bekerja karena merasa mudah mendapat penghasilan di sana. Ini yang sering menimbulkan masalah,” ujarnya.
Setibanya di Bandara Sultan Iskandar Muda, para PMI dijemput langsung oleh keluarga masing-masing. BP3MI Aceh memastikan seluruhnya difasilitasi hingga tiba di kampung halaman.
Mereka berasal dari berbagai daerah di Aceh, seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Lhokseumawe, Nagan Raya, Aceh Tamiang, dan Aceh Besar.
Sebagian besar bekerja di sektor informal seperti pangkas rambut, restoran, dan konstruksi sebelum ditangkap dalam razia aparat imigrasi Malaysia.
Selain Abu Bakar dan Al Viana, enam pekerja lainnya yang turut dipulangkan adalah Yudani Akbar dari Aceh Utara yang bekerja di sektor konstruksi, Nurdin dari Aceh Timur yang juga berprofesi sebagai tukang pangkas, Putra Suhaimi dari Nagan Raya yang bekerja di restoran, Sugiyanto dari Aceh Tamiang yang bekerja di proyek bangunan, serta Andi dari Aceh Besar yang baru berangkat awal 2025 untuk bekerja di sektor konstruksi.
Rusmadi menegaskan pentingnya keberangkatan secara prosedural.
“Kami berharap masyarakat memahami bahwa bekerja ke luar negeri harus melalui jalur resmi. Dengan dokumen lengkap, pekerja bisa terlindungi secara hukum dan bekerja dengan tenang,” katanya.
BP3MI Aceh berkomitmen melanjutkan pendampingan serta edukasi bagi calon pekerja migran agar dapat bekerja secara aman, legal, dan bermartabat. (*)



