Senin, Maret 17, 2025
spot_img
BerandaAceh250 Tahun Mengenang Teungku di Anjong

250 Tahun Mengenang Teungku di Anjong

Teungku Di Anjong merupakan seorang ulama asal Hadramaut, Yaman, yang datang ke Aceh pada tahun 1642 M

Puluhan pria duduk bersila di sebuah bangunan di samping Masjid Teungku Di Anjong, salah satu masjid tertua di Banda Aceh.

Suasana khusyuk terasa di dalam ruangan, ketika para jemaah melantunkan doa dan syair, diiringi dentuman rapai yang mengiringi irama hadrah.

Sore itu, Sabtu (15/3/2025), peringatan Haul ke-250 Teungku Di Anjong digelar dengan penuh khidmad. Wangi bunga menyebar di udara. Di tengah ruangan, berdiri makam Al-Habib Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih, yang lebih dikenal sebagai Teungku Di Anjong.

Makam tersebut tertutup kain kasab berwarna ungu dan abu-abu. Di sebelahnya, terdapat makam istrinya, Syarifah Fathimah Al-Aidid. Tak jauh dari sana, beberapa makam lain berbaris rapi. Mereka adalah murid dan pengikut setianya, yang mengabdikan diri dalam perjuangan dakwah.

Dalam peringatan ini, Hadrah Majelis Annur memimpin lantunan syair. Suara dzikir mengalun merdu, berpadu dengan irama rapai yang menghentak lembut.

Hadrah adalah seni musik Islami yang memadukan dzikir, kasidah, dan irama alat musik seperti rebana atau rapai. Sore itu, rangkaian kegiatan Haul meliputi pembacaan Maulid Nabi, yang mengisahkan kelahiran dan kemuliaan Rasulullah; Yasin dan Tahlil, sebagai doa untuk Teungku Di Anjong; serta Manakib, yang menceritakan perjalanan hidup dan perjuangannya.

Jejak Sejarah Teungku Di Anjong

Teungku Di Anjong merupakan seorang ulama asal Hadramaut, Yaman, yang datang ke Aceh pada 1642 M. Ia hidup di masa pemerintahan Sultan Alauddin Mahmud Syah (1760–1781 M), saat Kesultanan Aceh Darussalam masih berdiri kokoh.

Gelar “Teungku Di Anjong” diberikan sebagai bentuk penghormatan. Dalam bahasa Aceh, “anjong” berarti disanjung atau dimuliakan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia sering beribadah di anjungan masjid, sehingga mendapatkan gelar tersebut.

Teungku Di Anjong wafat pada 14 Ramadhan 1196 Hijriah, bertepatan dengan hari Jumat, selepas Isya. Kepergiannya meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Islam di Aceh.

Selain diperingati setiap 14 Ramadhan, haul Teungku Di Anjong juga digelar pada bulan Zulkaidah. Peringatan ini bukan hanya mengenang wafatnya, tetapi juga sebagai bentuk syukur atas ilmu dan perjuangan yang diwariskannya

Setiap tahunnya, jemaah dari berbagai daerah datang untuk menghadiri acara ini, membawa doa-doa terbaik untuk ulama besar yang telah meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Aceh.

Masjid Teungku Di Anjong bukan sekadar tempat ibadah. Dulunya, masjid ini adalah sebuah dayah (pesantren) yang menjadi pusat pembelajaran agama Islam. Para ulama mengajarkan ilmu tauhid, fiqih, dan tasawuf kepada santri yang datang dari berbagai penjuru.

Selain itu, masjid ini memiliki peran penting dalam sejarah Aceh sebagai Serambi Mekkah. Sebelum berangkat ke Tanah Suci, calon jemaah haji dari Nusantara terlebih dahulu singgah di sini untuk belajar manasik haji.

Sejarah masjid ini juga melewati berbagai fase, termasuk masa konflik dan renovasi pascatsunami.

Menjaga Warisan 

Sejak 15 tahun terakhir, Fahmi (51), warga asli Peulanggahan, telah mengabdikan diri sebagai juru kunci makam Teungku Di Anjong. Setiap hari, ia memastikan makam tetap terawat, membersihkan area sekitar, dan mengganti kain kasab yang menyelimuti pusara ulama besar itu.

“Saya rutin mengganti kain ini. Semua dari sedekah hamba Allah,” ujar Fahmi sambil merapikan kain kasab berwarna ungu yang berkilauan di bawah cahaya lampu.

Baginya, menjaga makam ini bukan sekadar tugas, tetapi sebuah amanah. Ia menyadari bahwa Teungku Di Anjong bukanlah ulama biasa ia datang ke Aceh bukan hanya untuk berdakwah, tetapi atas perintah Rasulullah.

“Teungku Di Anjong datang ke Aceh bukan hanya untuk berdakwah, tapi atas perintah Rasulullah,” tuturnya dengan suara penuh keyakinan.

Fahmi menambahkan Haul ini bukan sekadar mengenang wafatnya seorang ulama, tetapi juga upaya menjaga nilai-nilai yang telah diwariskannya kepada generasi penerus. Sejarah, ilmu, dan keteladanan yang ia tinggalkan menjadi pengingat bahwa perjuangan dalam menegakkan Islam harus terus berlanjut.

Menjelang buka puasa, suasana di sekitar makam masih penuh khidmat. Lantunan hadrah masih berkumandang, diiringi tabuhan rapai yang menggema perlahan. Para jemaah duduk bersila, melantunkan doa dan sholawat dengan penuh kekhusyukan. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER