“Saya tidak tahu di mana persisnya kubur mereka, tapi saya yakin mereka di sini”
Siang itu, sekitar pukul 14.30 WIB, Armia (50), warga Cot Lamkueh, Banda Aceh, duduk di atas bebatuan kasar di Kuburan Massal Ulee Lheue.
Tangannya yang keriput menggenggam sebuah buku Yasin lusuh. Lembarannya telah menguning, ujung-ujungnya terkelupas. Dari bibirnya, ayat-ayat suci mengalun pelan, menembus sunyi yang menggantung di bawah terik matahari Jumat (26/12/2025).
Di hadapannya, tak ada nisan. Tak ada nama. Tak ada penanda. Hanya hamparan tanah dan batu-batu hitam tempat ratusan, bahkan ribuan korban tsunami dimakamkan tanpa sempat dikenali.
Tak jauh dari Armia, keluarga lain datang perlahan. Lelaki paruh baya membawa wadah plastik berisi air yang telah dicampur taburan bunga. Mawar dan melati mengapung di permukaannya.
Dengan langkah hati-hati, mereka menyiramkan air itu ke atas batu-batu hitam. Sebagian air diusapkan ke wajah—mencuci muka, membasuh dahi—sebuah laku sunyi yang menyimpan rindu dan keyakinan.
“Saya tidak tahu di mana persisnya kubur mereka, tapi saya yakin mereka di sini,” kata Armia lirih, matanya menatap tanah tanpa nisan itu. Tsunami 26 Desember 2004 telah merenggut hampir seluruh keluarga besarnya. Sekitar enam ratus orang, katanya, tak pernah kembali.

Detik-Detik Ketika Air Datang
Dua puluh satu tahun lalu, Armia berada di Peukan Bada. Ia dan istrinya sedang berbelanja ketika bumi berguncang hebat. Orang-orang berteriak panik. Mereka bertahan di sebuah kios kecil, berdoa sambil gempa susul-menyusul.
Begitu guncangan mereda, Armia pulang ke rumah ibunya di Banda Aceh. Ia memastikan mama dan adik-adiknya selamat. Tak lama kemudian, ia menuju rumah kakaknya di kawasan Lamjame. Mereka sempat berbincang, sebelum kepanikan pecah dari arah jalan.
“Orang-orang lari semua, menjerit,” kenangnya. Dari kejauhan, ia melihat air berwarna hitam bergerak cepat, mengalir seperti dinding gelap yang tak terbendung.
Ia segera menyelamatkan diri ke rumah dua lantai milik seorang warga, Pak Usaini, tak jauh dari rumah Kapolres yang kelak banyak disorot media. Di lantai dua itulah Armia, istrinya, dan ibunya bertahan, menyaksikan tsunami menggulung apa pun yang dilewatinya.
“Air terus ke depan… ke depan,” katanya. Setelah surut, Armia turun dan mencoba kembali ke rumah ibunya. Namun yang tersisa hanyalah kehancuran.
Rumah yang Hilang, Doa yang Tinggal
Rumah Armia rusak total. Kampungnya porak-poranda. Bertahun kemudian, ia mendapat rumah bantuan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh–Nias. “Alhamdulillah,” ucapnya singkat.
Sejak itu, hampir setiap tahun Armia datang ke Kuburan Massal Ulee Lheue. Ia berziarah, membaca Yasin, dan mengirim doa untuk mereka yang tak sempat dimakamkan dengan nama.
Di sekelilingnya, keluarga-keluarga lain melakukan hal serupa menabur bunga, memejamkan mata, atau membasuh wajah di atas batu-batu hitam, seolah ingin menyerap kembali jejak orang-orang tercinta.
Angin laut berembus perlahan. Armia kembali membuka buku Yasin. Di tempat tanpa nisan itu, doa-doa terus dipanjatkanuntuk mereka yang telah pergi, dan untuk yang masih hidup agar tak lupa pulang kepada makna. (*)



